
Ilustrasi Pasangan Marah
Kapanlagi.com – Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah isu serius yang merambah ke banyak individu dan keluarga di seluruh penjuru dunia. Bentuk-bentuk kekerasan ini beragam, mulai dari tindakan fisik, emosional, hingga seksual. Dampak dari KDRT tidak hanya terasa secara fisik, tetapi juga dapat menghancurkan kesehatan mental para korban secara mendalam.
Bagi para penyintas, proses untuk kembali menata hidup dalam lingkungan yang aman bisa menjadi tantangan besar, terutama jika kekerasan berlangsung lama atau dilakukan dengan intensitas yang tinggi. Sebagaimana diungkap dalam artikel yang dirangkum Kapanlagi.com dari Marriage pada Jumat, 5 Februari 2025, KDRT mencakup perilaku kasar yang terjadi antara pasangan intim, pasangan hidup, atau anggota keluarga yang tinggal di satu atap.
Ini mencakup pemukulan, tendangan, hingga pelecehan emosional dan seksual. Tindakan kekerasan ini jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia dan dapat merusak hubungan antar pasangan. Pelecehan semacam ini membuat korban terjebak dalam pengalaman traumatis yang berdampak langsung pada kesehatan mental dan emosional mereka, serta menimbulkan konsekuensi negatif yang berkepanjangan.
Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang bagaimana KDRT memengaruhi kesehatan mental para korban dan pentingnya dukungan untuk mereka.
Advertisement
1. Dampak Buruk KDRT bagi Kesehatan Mental
Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tak hanya terlihat dari luka fisik, tetapi juga menyisakan bekas mendalam pada kesehatan mental korban yang sering kali bertahan lama.
Salah satu akibat paling umum adalah depresi, yang ditandai dengan kesedihan yang terus-menerus, kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari, gangguan tidur, dan perubahan pola makan.
Korban sering kali terjebak dalam perasaan putus asa akibat siksaan yang dialami selama bertahun-tahun, dan tanpa disadari, depresi ini dapat menjadi pintu gerbang menuju masalah kesehatan mental lainnya yang lebih serius.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
2. Gangguan Kecemasan
Penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering kali terjebak dalam pusaran kecemasan yang mendalam, di mana rasa gelisah menghantui setiap langkah mereka.
Kesulitan untuk berkonsentrasi pada hal-hal penting menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari, sementara kekhawatiran berlebihan, bahkan terhadap hal-hal sepele, kerap kali menyelimuti pikiran mereka.
Dalam kondisi ini, mereka bisa terjebak dalam keadaan hypervigilance, selalu siaga menghadapi potensi pelecehan yang mungkin datang.
Tak jarang, dampak psikologis yang lebih berat seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pun menyusul, menampakkan diri melalui kilas balik menyakitkan, mimpi buruk, dan pikiran mengganggu yang tak kunjung reda.
Luka batin akibat kekerasan yang dialami bisa membekas lama, membuat mereka berjuang untuk menemukan rasa aman yang seharusnya menjadi hak mereka.
Advertisement
3. Isolasi dari Masyarakat
Dampak psikologis dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangat merusak, membuat korban terisolasi dari orang-orang terkasih dan keluarga.
Masalah mental seperti kecemasan dan depresi muncul, menciptakan perasaan terputus dan kesepian yang semakin menjauhkan mereka dari dukungan.
Bagi orang tua yang menjadi korban, dampaknya lebih parah karena mereka kesulitan memberikan perhatian emosional kepada anak-anak.
Banyak korban mencari pelarian melalui penyalahgunaan obat atau alkohol, yang justru memperburuk kondisi mental dan menciptakan siklus kecanduan, serta dapat memicu gangguan makan sebagai cara mengatasi trauma.
4. Masalah Kepercayaan dan Keintiman
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak hanya meninggalkan bekas fisik, tetapi juga menggerogoti kepercayaan dan keintiman dalam hubungan.
Para penyintas sering kali terjebak dalam ketakutan untuk membuka diri, baik kepada pasangan baru, teman, bahkan keluarga, akibat trauma yang mendalam.
Dalam kegelapan perasaan putus asa, muncul pikiran untuk melukai diri sendiri atau bahkan mengakhiri hidup, menciptakan siklus emosi negatif yang sulit diputuskan.
Rasa bersalah dan kesepian menghantui mereka, menjadikan perjalanan menuju penyembuhan semakin menantang.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)